11 Agustus 2008

SOE HOK GIE -KENANGAN KEPADA SEORANG DEMONSTRAN (2)

Mengapa naik gunung


Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.


Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulang tahun di atas," katanya sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali." Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?" Tanyanya.


Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan..


Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.


Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.


Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.


Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.


Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.


Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ... kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!


Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.


Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam.. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.




Monyet tua yang dikurung


Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...."


Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."


Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: "Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."


Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ... Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang." Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak mengerti".


Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan ... saya terbangun dari lamunan ... saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.

1 komentar:

  1. Turut berduka cita, semoga arwah Soe & Idhan diterima di sisiNya

    BalasHapus